Logo Blog

JUKNIS DAN PEDOMAN

BIOGRAFI IBNU SIRIN DAN PEMIKIRANNYA

Biografi Ibnu Sirin dan Pemikirannya

A.  Riwayat Hidup Ibnu Sirin
Pada tahun 722 M oleh seorang Muslim generasi awal sekaligus perawi Hadits. Ia adalah Abu Bakar bin Urwan, Muhammad Ibnu Sirin, seorang tabi’in agung, Al-Bashri Al-Nashari atas dasar pemilik (artinya, ia disebut Al-Anshari karena ia adalah hamba milik salah seorang sahabat Anshar). Ayahnya adalah hamba Anas. Syaikh Muhammad Ibnu Sirin nama lengkapnya Imam Muhammad Ibnu Sirin atau sering disebut Ibnu Sirin saja.[1]
Muhammad Ibnu Sirin Al-Bashri dilahirkan di kota Bashrah, Iraq, pada 33 H (653 M). Imam Ibnu Sirin adalah seorang penulis termasyhur dan ulama terhormat dimasa hidupnya. Ia hidup di abad pertama kekhalifahan Islam dan belajar fiqh serata hadits dari tangan para pengikut pertama sahabat-sahabat Rasulullah saw. di antara tokoh-tokoh yang sezaman dengannya adalah Imam Anas Ibnu Malik, Al-Hasan Ibnu Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Awn, Al-Fudhayl Ibnu Iyadh, dan banyak tokoh lainnya.[2]
Di Irak, dimana di sana dia menjadi seorang ahli Fiqih (Hukum) utama dan ahli Hadits di antara murid-murid para sahabat Rasulullah SAW. Beliau terkenal dalam bidang fiqh, wara’, hadits, dan ta’bir.[3]
Muhammad Ibnu Sirin pada dua tahun menjelang berakhirnya pemerintahan Utsman Bin Affan r.a., pada tahun 33 H, tumbuh dalam pangkuan dan bimbingan Anas. Ia adalah seorang pedagang kain. Ia mempelajari Al-Qur’an, belajar dan menghafal banyak hadits, dan ia adalah seorang yang teliti serta kuat daya hafalnya. Ia meriwayatkan hadits, satu per satu huruf-huruf dadits. Ia adalah orang yang saleh dan ahli fiqh yang sempat melihat tiga puluh orang sahabat.[4]
Kata Khalid Al-Hadzdza : “Semua yang diterangkan oleh Muhammad Ibnu Sirin, bahwa dia mendengarnya dari Ibnu ‘Abbas, maka sebenarnya dia mendengar dari Ikrimah. Ibnu ‘Aun berkata : “Ibnu Sirin meriwayatkan hadits persis menurut hafalannya. Sedangkan Muwarriq berpendapat bahwa tak pernah saya menihat orang yang lebih pandai dalam ilmu fiqh selain dari Muhammad Ibnu Sirin yang dilandasi oleh wara.[5]
Muriq Al-‘Ujali pernah perkata : “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih bijak dalam kesalihannya atau lebih alim dalam ilmunya dari pada Muhammad Ibnu Sirin.”
Dalam kamus biografinya, Khayruddin Az-Zareki menggambarkan Imam Muhammad Ibnu Sirin yang soleh, bertaqwa kepada Allah, dan seorang mukmin yang kuat, tuan rumah yang pemurah dan sahabat yang bisa dipercaya. Selain itu, Muhammad Ibnu Sirin adalah periang dan pandai bergaul. Keberadaannya dapat diterima di hati para ulama dan penuntut ilmu, dan ia menduduki puncak kepemimpinan pada masanya. Muhammad bin Sa’ad berkata, “Ia adalah orang terpercaya, terhormat, tinggi kedudukannya, ahli fikih, pemimpin, dan luas ilmunya.[6]
Ibn Zuhyr pernah berkata :” setiap kali kata kematian disebutkan dihadapan Ibnu Sirin berbaring menjelang kematiannya disebutkan dihadapan Ibnu Sirin, seluruh tubuhnya bergetar.” Ketika Imam Ibnu Sirin berbaring menjelang kematiannya, ia berkata pada anak laki-lakinya :” anakku !” anaknya menjawab :” wahai ayahku, apakah aku harus membebaskan seorang budak atas nama kuasa memberi aku dan engkau apa-apa yang baik yang engkau lakukan atas namaku.” Imam Ibnu Sirin wafat dikota basrah pada 110 H (729 M) diusia tujuh puluh enam.[7]

B.  Kesalihan dan Keperibadian Ibn Sirin
Beliau menerima hadits dari maulanya sendiri Anas Ibnu Malik, Zaid Ibnu Tsabit, Al-Hasan Ibnu ‘Ali Thalib, Jundub Ibnu Abdillah Al-Bajaly, Huzaifah Ibnu Al-Yaman, Samurah Ibnu Jundub, ‘Imran Ibnu Husai, Abu Hurairah, Abu Ad-Darda, dan dari segolongan sahabat dan tabi’in. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Asy-Sya’by, Khalid Al-Hadza, Daud Ibnu Abi Hind,  Jarir Ibnu Abi Hazim, Asy’ats Ibnu ‘Abdil Malik, Ashim Al-Ahwal, Qatadah, Suilaman At-Tamimy, Malik Ibnu Dinar, A-Auza’y, ‘Amar Ibnu Mahram.[8]
Imam Ibnu Sirin biasa berpuasa selang satu hari selama hidupnya. Pada hari ketika ia tidak berpuasa, biasanya ia makan siang, tidak makan malam, dan makan sedikit diwaktu sahur, sebelum menunaikan shalat subuh. Ia biasanya bangun malam selama bulan Ramadhan untuk melakukan shalat, dan ia sering berkata :” seseorang harus bangun untuk melakukan shalat malam, setidaknya selama waktu yang dibutuhkan selama memerah susu kambing.” Hisyam Ibn Hasan pernah menginap dirumah Ibnu Sirin padahal ia adalah tuan rumah yang sangat ceria sepanjang siangnya.[9]
Hafsah binti Sirin, saudara Imam Ibnu Sirin, pernah berkata : “ ketika Muhammad dipanggil oleh ibu kami, ia biasanya berdiri dihadapnya dengan sopan dan menahan diri untuk tidak bicara kepadanya dengan suara keras.” Seseorang pernah mengunjungi Imam Ibnu Sirin kepada ibunya. Ketika orang itu pergi, ia bertanya :” apa Muhammad sedang sakit ? “ seseorang menjawab :” ia baik-baik saja. Ia sangat menghormati ibunya sehingga ia hampir luluh ketika berada bersamanya.”[10]
Seseorang menanyakan tentang pendapat Imam Ibnu Sirin tentang tafsir mimpi. Ibnu Sirin menjawab : “ takutlah kepada Allah ketika engkau jaga, dan jangan khawatir tentang apa yang engkau lihat dalam mimpi.” Ketika ia diminta untuk memberi pendapat dari sudut pandang agama ihwal dua tafsir yang mirip, ia memilih yang paling dekat dengan kitab Allah. Ia pernah berkata : ”pada dasarnya pengetahuan ini diambil dari agama kita. Jadi, perhatikan dengan baik dari siapa engkau mempelajarinya !”
Musa Ibnu Al- Mughirah pernah berkata :” aku melihat Muhammad Ibnu Sirin pergi kepasar ditengah hari. Ia begitu khusu’ dalam doanya, mengagungkan dan memuji Allah,” sesorang bertanya kepadanya: “ Wahai Ibu, yang mengagungkan dan memuji Allah. “ Sesorang bertanya kepadanya :” Wahai Abu bakar (diambil dari nama ayahnya, apakah ini waktu untuk membaca doa-doa itu ?” Ibnu Sirin menjawab: “ketika berada ditengah pasar, orang dapat tertipu oleh gemerlapnya dan menjadi lupa kepada kewajibannya.”[11]
Suatu ketika, panggilan azan terdengar tatkala mereka sedang mengadakan pertemuan. Ketika orang-orang berdiri untuk melaksanakan shalat, Imam Ibnu Sirin berkata : ”biarlah orang yang paling fasih membaca Al-Qur’an mengimami kita, karena diantara kita ada orang-orang yang sudah menghafalnya.” Setelah selesai shalat berjamaah, Ibn A’wn bertanya kepada Imam Ibnu Sirin : “mengapa engkau menolak menjadi Imam shalat ? “ia menjawab : “aku tidak ingin orang-orang berkata: ”Ibnu Sirin mengimami kita pada malam ini.”
Imam Ibnu Sirin sering menolak barang-barang halal sekalipun, karena takut akan penimpangan. Ia sering diundang kepesta pernikahan, dan sebelum meninggalkan rumah, ia meminta pada keluarganya :” beri aku makanan yang manis-manis ! ”mereka menjawab :” bukankah engkau akan pergi kepesta pernikahan dan engkau akan memperolehnya disana ? “ ia menjawab : aku tidak suka memuaskan laparku dengan makanan orang lain. “ia jiga sering berkata :” jangan bebani saudaranu dengan pemberian lebih besar dari apa yang dapat ditanggungnya. “Hisyam Ibn Hasan pernah berkata : “ ketika Binti Al Muhallab mengundang Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin untuk makan, Hasan pasti datang tapi Ibnu Sirin pasti menolak.” Pernah Imam Ibnu Sirin menolak sebuah hadiah sebesar empat puluh ribu dirham karena ragu-ragu tentang kehalalan sumbernya. Ketika mengomentari tindakan ini, Sulaiman At-Taimi berkata, “ ia menolak karena tak seorang ulama pun akan berbeda pendapat tentang ketidak sahannya. “ ketika Ibnu Sirin ditanya tentang dua saudara yang kemudian saling bermusuhan, ia menjawah :” kejahatan menyelinap diantara mereka.”[12]
Itulah Ibnu Sirin yang dikagumi oleh orang pada sama itu, selain itu beliau seorang yang pering dan pandai bergaul, tidak sombong, terhadap yang orang lain. Kehati-hatian beliau dalam menerima suatu pemberian atau hadiah sangatlah perlu kita teladani, karena beliau adalah orang yang sangat berhati-hati dalam agamanya.
Antara Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin ada rasa sentimen. Keduanya tidak mau saling menyapa. Setiap kali mendengar orang lain menyambut nama Ibnu Sirin, Hasan Al-Bashri merasa tidak suka : “jangan sebut nama orang yang berjalan dengan lagak sombong itu di hadapanku,” katanya.
Pada suatu malam Hasan Al-Bashri bermimpi seolah-olah ia sedang bertelanjang di kandang binatang sambil membuat sebatang tongkat. Pagi itu ketika ia bangun, ia merasa bingung dengan mimpinya itu. Tiba-tiba ia ingat bahwa Ibnu Sirin, yang kurang ia sukai, adalah orang yang pandai menafsirkan mimpi.
Merasa malu dan gengsi bertemu sendiri, ia lalu meminta tolong seorang teman dekatnya, “Temui Ibnu Sirin, dan ceritakan mimpiku ini seakan-akan kamu sendiri yang mengalami,” pesannya. Teman dekat Hasan Al-Bashri itu segera menemui Ibnu Sirin. Begitu selesai menceritakan isi mimpi tersebut, Ibnu Sirin lanhsung berkata, “Bilang pada orang yang mengalami mimpi ini, jangan menanyakannya kepada orang yang berjalan dengan lagak sombong. Kalau berani suruh ia datang sendiri kemari.
Mendengar laporan yang disampaikan temannya ini, Hasan Al-Bashri kesal. Ia bingung, dan merasa tertantang. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia memutuskan untuk bertemu langsung dengan Ibnu Sirin. Ia tidak peduli dengan rasa malu atau gengsi. “Antarkan aku ke sana,” katanya. Begitu melihat kedatangan Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin menyambutnya dengan baik. Setelah saling mengucapkan salam dan berjabat tangan, masing-masing lalu mengambil tempat duduk yang agak berjauhan.
“Sudahlah, kita tidak usah berbasa-basi : langsung saja, aku bingung memikirkan dan menafsirkan sebuah mimpi,” kata Hasan Al-Bashri. “Jangan bingung,” kata Ibnu Sirin.” Telanjang dalam mimpimu itu adalah ketelanjangan dunia. Artinya, engkau sama sekali tidak bergantung pada-nya karena engkau memang orang yang zuhud. Kandang binatang adalah lambang dunia yang fana itu sendiri. Engkau telah melihat dengan jelas keadaan yang sebenarnya. Sedangkan tongkat yang engkau buat itu adalah lambing hikmat yang Anda katakana, dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang.”
Sesaat Hasan Al-Basri terkesima : ia kagum pada kehebatan Ibnu Sirin sebagai ahli tafsir mimpi, dan percaya sekali pada penjelasannya.” Tetapi bagaimana engkau tahu kala aku yang mengalami mimpi itu ?” Tanya Hasan Al-Basri. “Ketika teman engkau menceritakan mimpi tersebut kepadaku, aku berpikir, menurutku, hanya engkau yang pantas mengalaminya,” jawab Ibnu Sirin.[13]
Sekilas cerita diatas mengkisahkan bahwa antara Hasan dengan Ibnu Sirin ada sentimen, tetapi Ibnu Sirin memiliki kepribadian yang mulia, walaupun beliau dihina tetapi tidak sombong, benci atau untuk balas dendam kepadanya, tetapi beliau membantu dan menolong ketika Hasan meminta penafsiran tentang mimpi yang dialaminya kepada Ibnu Sirin.
Kualitas seorang Ibnu Sirin dapat menjadi contoh betapa tidak mudahnya menjadi seorang ahli perilaku. Misalnya, beliau didatangi dua orang laki-laki. Masing-masing bercerita bahwa dirinya mengumandangkan adzan. Kepada orang pertama, Ibnu Sirin berkata, “Kamu akan menunaikan ibadah Haji.” Lalu kepada yang lain ia berkata, “Kamu akan mencuri lalu tanganmu dipotong.” Beliau diprotes, mengapa bias demikian ? Lalu menjawab, “Aku melihat tanda-tanda keshalehan pada orang yang pertama sehingga aku mentakwilkan ayat :
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالحَجِّ ... {الحج : 22 : 27}

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan Haji.” (Al-Hajj : 22 : 27).[14]

Sedangkan terhadap orang kedua aku melihat tanda-tanda kefasikan dan keburukan, maka aku mentakwilkan ayat[15] :
... ثُمَّ أَذَّنَ مُؤَذِّنَ أَيَّتُهَا الْعِيْرُ إِنْكُمْ لَسَارِقُوْنَ {يوسف : 12 : 70}
“Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan : ‘Hai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri’.” (Yusuf : 12 : 70).[16]

Demikianlah Ibnu Sirin, seorang yang berhak menjadi pentakwil dan pentakbir mimpi secara benar. Barang siapa memiliki kecerdasan yang semisalnya maka ia boleh mengabil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah lalu mentakwilkan mimpi orang lain. Jika tidak, maka Al-Qur’an dan Al-Hadits bukanlah alat bagi orang-orang yang suka kesia-siaan.

C.  Karya-karya Ibnu Sirin
Syaikh Muhammad Ibnu Sirin hidup sekitar 33-110 H, banyak orang yang mengetahui kepiawaiannya dalam mentakwilkan mimpi. Adz-Dzahabi berkata, “Ibnu Sirin telah memberikan takwil mimpi secara menajubkan sehingga akan berjilid-jilid jika ditulis. Tampaknya, beliau diteguhkan kekuatan ilahiyah dalam masalah tersebut.[17]
Di kalangan para ulama dan ahli dalam bidang tafsir mimpi, orang-orang di Timur sudah sangat mengenal nama Imam Muhammad Ibnu Sirin, hasil karya adalah Al-Jawami’, menghimpun kamus mimpi yang cukup lengkap yang berjudul Tafsir Ahlam (Tafsir Mimpi). Ibnu Sirin juga menulis buku Ta’biru Al-Ru’ya Al-Shaghiir (Tabir Mimpi Kecil) dengan menggunakan sebutan mimpi kecil, menunjukkan bahwa ada mimpi-mimpi besar yang berada di luar jangkauan berfikirnya, yang hanya mungkin dita’wilkan oleh seorang terpilih saja, yakni para Rasul dan Nabi, sementara manusia lainnya bisa menafsirkan hanya pada mimpi kecil, itupun dengan syarat-yarat tertentu.[18]
Dari hasil karya-karya besarnya, oleh para penafsir mimpi di dunia Islam, di pandang sebagai sumber pengetahuan utama yang telah memperkaya jiwa para pembaca serta penafsir mimpi selama seribu tahun silam.
Demikianlah Ibnu Sirin seorang tabi’in yang paling banyak meriwayatkan hadits serta berjasa dalam pemeliharaan dan periwayatan hadits. Semoga Allah membrikan balasan yang terbaik kepada beliau dan menempatkan di dalam surga yang lapang dan indah.



[1] Yadi Purwanto, Memahami Mimpi Perseptif Psikologi Islami, (Jogjakarta : Menara Kudus, 2003), hal. 287.
[2] Ibid, hal. 288. Lihat juga Ensiklopedia Takwil Mimpi Islam Ibnu Sirin pada muqodimah tentang Imam Muhammad Ibnu Sirin.
[3] Hasbi Ash-Shidiqi, Sejarah Ilmu Hadits, (Jakarta ; Bulan Bintang, 1991), hal. 298
[4] Ajal Al-Khathib, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, (Jakarta ; Gema Insani, 1999), hal. 556
[5] Hasbi Ash-Shidiqi Op. Cit., hal. 299
[6] Ajal Al-Khathib, Op. Cit., hal. 557
[7] Ibnu Sirin (Editor : Muhammad M. Al-Akili), Ensiklopedia Takwil Mimpi Islam Ibnu Sirin, (Bandung ; Pustaka Hidayah, 1997), hal. XI
[8] Hasbi Ash-Shidiqi, Op. Cit., hal. 299
[9] Ajal Al-Khathib, Op. Cit., hal. 556
[10] Ibnu Sirin, Op. Cit.
[11] Ibid., hal. xii
[12] Ibid., hal. xii
[13] Yadi Purwanto, Op. Cit., hal. 293-294
[14] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hal. 515
[15] Ahmad Bin Sulaiman Al-Uraini, Petunjuk Nabi Tentang Mimpi, (Jakarta : Darul Falah, 1424 H), Cet. Ke-II, hal. 28
[16] Departemen Agama RI., Op. Cit., hal. 360
[17] Ahmad Bin Sulaiman A-Uraini, Op. Cit., Hal. 27
[18] Yadi Purwanto, Op. Cit., hal. 288





= Baca Juga =



No comments:

Post a Comment

    Info Kurikulum Merdeka

    Info Kurikulum Merdeka
    Info Kurikulum Merdeka